Banyak pokok bahasan dilakukan orang-orang yang merasa pintar di negeri ini berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, tapi dalam faktanya korupsi semakin menjadi-jadi menggurita dimana-mana. Tidak cukup kita berpolemik bicara tentang pemberian “Remisi Bagi Koruptor” karena itu bukan solusi, apalagi “remisi” telah pula jadi kontra versial di kalangan masyarakat, ada yang setuju ada yang tidak. Soal penghapusan “remisi” bagi para koruptor jelas kita tidak bisa dilakukan karena jelas melangkahi kehendak undang-undang yang mengaturnya, mulai dari UU No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pasal 14 dan 15 hukum pidana materill kita (KUHP) Jo PP No.32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara warga binaan, dan theory tentang “penghukuman tentang pemidanaan yang jelas bukan sebagai balas dendam”. Oleh karenanya karena korupsi berkaitan dengan budaya mentalitas kita sebagai suatu bangsa, dimana nilai budaya “korupsi” cenderung untuk abadi, sehingga masalah korupsi dari waktu kewaktu hanya jadi polemik tak berkesudahan di negeri ini, ibarat “anjing menggonggong namun Kapilah tetap berlalu”.

Hampir setiap tahun kita menyaksikan Sejumlah aktivis menggelar unjuk rasa memperingati hari anti korupsi internasional, di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, dan di kota-kota lain di negeri ini. Hari anti korupsi yang jatuh tepat pada 9 Desember diperingati berbagai elemen masyarakat dengan menggelar aksi untuk menyerukan Indonesia bersih dari segala praktik korupsi, tapi upaya ini tetap sia-sia dan seruan serta sloganitas pemberantasan korupsi telah jadi retorika para Politikus dan Penguasa di negeri ini. Adapun UU No 31/1999, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sekalipun ada disinggung tentang “hukuman mati” tapi justru mempersempit mengatur hukuman mati hanya dapat dijatuhkan antara lain, ditujukan pada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu, sehingga terlalu banyak persyaratan sehingga kesannya mempersulit dijatuhkannya hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Perhatikan dan cermati bahwa sampai saat ini dari semua persidangan kasus korupsi di negeri ini belum satupun kita dengar ada keberanian dari majelis hakim untuk menerapkan dan menjatuhkan hukuman mati kepada Terdakwa kasus korupsi yang telah terbukti bersalah menilap uang negara yang besarnya milyard-an bahkan trilyunan rupiah.

Di masa lampau, berbagai pihak memang banyak pendukung hukuman yang lebih berat atas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dengan mengacu kepada negara China, dan memuji berbagai usaha negeri ini dalam menumpas penyakit sosial tersebut. Salah satu cara yang diusulkan para pendukung tersebut adalah dijatuhkannya sanksi hukuman yang lebih berat dengan memperkenalkan hukuman mati bagi narapidana korupsi di Indonesia. Mereka menganjurkan untuk belajar dari China dan dari kebijakannya dalam memberantas korupsi. Namun jika kita perhatikan Republik China, ternyata China tidak dapat dan tidak patut menjadi contoh bagi sebuah negara yang demokratis seperti Indonesia, karena ini kendalanya. Sehingga masalah demokrasi yang ada di tangan para Politisi dan Partai Politik terkesan sebagai perintang utama dijatuhkannya hukuman mati di negeri ini. Oleh karenanya Para politisi dan partai politik perlu mendapat sorotan tersendiri bagi kita. Mereka secara implisit tidak rela ada hukuman mati bagi para koruptor di Indonesia. Dan ini terbukti seperti apa kata komisi III DPR-RI, dimana Ketua Komisi III Benny K Harman, telah mengatakan bahwa, hukuman mati tidak pernah efektif memberantas tindak korupsi di negara mana pun termasuk China. Benny juga mengatakan hukuman mati melanggar hak asasi manusia. “Hukuman mati kami tolak, selain (karena) melanggar hak asasi manusia, juga dan secara empiris tidak berhasil tidak efektif untuk menahan meluasnya korupsi. Tapi itu (revisi UU) kan belum selesai. Hukuman mati di negara mana pun tidak pernah efektif untuk menangkal kejahatan termasuk korupsi di China juga sama“, tutur Benny saat ditemui usai rapat Paripurna. (JAKARTA, RIMANEWS, 29/3/2011). Dan ini bertentangan dengan apa kata Ketua MK, Di Surabaya, Jawa Timur, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengakui, korupsi di negeri ini sudah parah dan merajalela. Karena itu penulis katakan, Indonesia perlu belajar dari Latvia dan China yang berani melakukan perombakan besar untuk menumpas korupsi di negaranya. Masalah pemberantasan korupsi harus bermuara pada efek jera bagi para pelakunya, dan efek jera itu hanya akan bisa didapat jika para koruptor yang terbukti bersalah “harus dihukum mati”. Tapi tentu saja harus selektif  hukuman mati harus dijatuhkan bagi para koruptor yang telah terbukti menilep uang negara di atas 1 Milyard.

Tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime dimana bagi negara miskin seperti Indonesia hukuman mati adalah solusi jitu untuk segera diberlakukan, dan untuk itu perlu ada kemauan politik sangat kuat dari para politisi dan pemerintah atau diperlukan good will untuk bisa diberlakukannya hukuman mati ini.

Tanpa ada good will dari para politisi dan pemerintah mustahil ada hukuman mati bagi para koruptor di negeri ini, dan jangan pernah bermimpi kita dapat mengurangi tindak pidana korupsi apa lagi memberantasnya. Buktikan jika ada solusi lain…!!!

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.